Perjanjian Istanbul: Aceh - Belanda - Inggris


Halaman 229 & 230 dari Kanzul Ragha'ib fi Muntakhabtil Jawa'ib, jilid 5, yang memberitakan tentang sejarah dan perkembangan kondisi di Aceh menjelang perang Aceh melawan Belanda.

Seputar Kerajaan Aceh atau Acin


POIN pertama: mengenai letak Aceh dan para sultannya sejak awal sampai akhirnya, dan tentang keanggotaannya dalam perlindungan Daulah ‘Aliyyah (Negara Utsmaniyyah). (Twk. A.Aziz: Tarikh Negeri Aceh Sumatera dan Raja-rajanya)
Perlu Anda tahu bahwa Aceh merupakan pangkalan Pulau Sumatera serta pusat pemerintahannya. Keletakannya berada di bagian utara pulau.
Pulau ini sendiri memiliki ragam potensi pertambangan, aliran sungainya yang begitu banyak dan dengan deras mengalir ke laut, sedangkan laut mengelilinginya dari tiga penjuru.
Pada zaman purbakala, pulau ini (Aceh) diperintah oleh para penguasa dari orang-orang Majusi sampai dengan kemudian berhasil dibebaskan (ditaklukkan) oleh Sultan Al-Ghazi (sang pejuang) Johan Syah pada siang hari Jum’at 4 Ramadhan Al-Mubarak (yang diberkati) tahun 611. Sejak itu sampai dengan saat ini, Aceh—dengan segala puji kepada Allah—berdiri sendiri (merdeka) dengan pemerintahannya yang Islami, turun temurun dari pendahulu ke penerusnya. Rakyatnya semua muslim dan bermazhab Syafi’i, patuh kepada Syari’ah Islam yang mulia, serta menaati segala perintah para sultan mereka.
Pada tahun 922, masa pemerintahan Sayyid Al-Mukammil Firman Syah, Aceh memperoleh kemuliaan besar dan kehormatan abadi dengan masuknya ia ke dalam perlindungan Daulah ‘Utsmaniyyah ‘Aliyyah, dan itu adalah lewat perantaraan Almarhum Sinan Pasha pada masa Almarhum Sultan Salim Khan. Aceh memperoleh dekret Sultan Utsmaniyyah yang berisi pernyataan penerimaannya dalam perlindungan Utsmaniyyah.
Dalam tahun 1267, Sultan Aceh, Sultan ‘Alauddin Manshur Syah, telah mengirim seorang utusan ke Astanah Al-‘Aliyyah (Istanbul) untuk memperbaharui [pernyataan] perlindungan, dan oleh karena itu Almarhum Sultan ‘Abdul Majid Khan telah menganugerahkan sebuah dekret yang menyiratkan keanggotaan Aceh dalam negeri-negeri di bawah perlindungan Utsmaniyyah. Seraya itu, ia juga menyerahkan sebuah lencana yang bersulam manikam.
Sejak kerajaan ini masuk dalam keanggotaan negeri-negeri di bawah perlindungan Daulah Al-‘Aliyyah sampai dengan waktu ini, adalah sebuah kehormatan bagi kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Utmaniyyah di atasnya.
Sultan-sultan yang memegang kekuasaan atas Aceh semuanya berjumlah 35 sultan, diawali Sultan Al-Ghazi Jauhan Syah, sebagaimana telah disebutkan, sampai dengan sultan yang terakhir, Sultan ‘Ala’ Mahmud Syah. Ia naik ke kursi kekuasaan pada tahun 1287. (Twk. A. Aziz: Tiga tahun setelah kerajaan Sultan Mahmud Syah itu diserang Aceh oleh Hulanda hari Jum’at ‘an kharij sur [dari luar benteng?])
Poin kedua: tentang perjanjian-perjanjian yang diadakan antara para sultan Aceh dengan pihak Belanda dan Inggris, dan tentang pelanggaran Belanda terhadap perjanjian-perjanjian tersebut.
Perjanjian-perjanjian ini mulai diadakan sejak pemerintahan Sultan ‘Alauddin Mahmud Syah pada tahun 1155, pada masa kesultanan Almarhum Sultan Mushthafa Khan di Astanah ‘Aliyyah (Istanbul). Perjanjian itu melarang pihak Belanda bertindak jahat kepada siapa pun rakyat Aceh serta tidak boleh menguasai apa saja yang menjadi milik pribadinya. Perjanjian tersebut juga mengharuskan kedua belah pihak menjaga hubungan baik secara berkelanjutan. Dan atas dasar itu, pihak Belanda hanya diizinkan menginjakkan kaki di Kerajaan Aceh semata-mata untuk berdagang, tidak boleh lain.
Demikian pula kesepakatan yang berlangsung antara Sultan ‘Alauddin Jauharul ‘Alam Syah dengan pihak Inggris pada tahun 1241. Sementara Inggris terus menjaga kesepakatan itu sampai dewasa ini, maka lain pula halnya dengan Belanda. Kesepakatan itu hanya dituruti Belanda sampai tahun 1180, dan sejak itu mereka mulai melakukan ekspansi. Mereka menguasai beberapa negeri di Sumatera dari kedua sisi Padang, barat dan timurnya. Hanya saja negeri-negeri itu tidak termasuk dalam wilayah pemerintahan Aceh secara langsung sehingga hal itu tidak begitu dipedulikan.
Kemudian pada tahun 1241, Belanda semakin semena-mena dalam melakukan ekspansi dan menguasai tanah dalam wilayah pemerintahan Aceh, yang dengan demikian mereka telah sengaja merusak perjanjian yang telah disepakati. Ketika masalah itu diklarifikasi (Twk. A. Aziz: Wakil Sultan yang diutus ke Padang untuk mengklarifikasikan masalah itu adalah Daulatillu Raja Udah [?]) , pihak Belanda berdalih: “Tanah itu mengikut tanah yang kami miliki. Apabila Anda dapat membuktikan bahwa tanah itu adalah milik Anda, maka kami akan mengembalikannya.” Namun ternyata sampai sekarang, masalah itu digantung begitu saja.
Pada 1288, pihak Belanda kembali meminta beberapa pulau dalam wilayah pemerintahan Aceh, serta membangun mercusuar di depan salah satu pelabuhan untuk memudahkan lalu lintas kapal-kapal mereka. Tokoh-tokoh besar dalam pemerintahan Aceh kemudian memberi jawaban bahwa mereka adalah pengikut Daulat ‘Utsmaniyyah. “Tanpa meminta petunjuk dari sana, kami tidak dapat memberikan izin apapun kepada kalian. Sedangkan mengenai mercusuar, kami dapat membangunnya sendiri sesuai kemauan kami.”
Belanda tidak puas dengan jawaban itu, malah mengancam Aceh dengan perang. Mereka menunjukkan permusuhan yang berkali-kali tampak dari sikap mereka. Tujuan mereka adalah untuk menguasai seluruh wilayah Kerajaan Aceh, sedikit demi sedikit, dan perjanjian yang mereka buat sebelumnya bukan untuk menjalin hubungan baik dan lebih merupakan tipu muslihat untuk mencapai tujuan mereka, bukan untuk berdagang.
(Selesai)
Konversi tahun-tahun hijriah yang terdapat dalam teks ke masehi: 
611=1215 
922=1516
1267=1850
1287=1870 
1155=1742
1241=1826
1180=1766 
1241=1826 
1288=1871
Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir ZAMAN di Group Mapesa)