Dan Istanbul pun Mengabarkan

Sampul jilid 5 dari Kanzul Ragha'ib fi Muntakhabatil Jawa'ib yang memuat tentang Aceh.
Diterbitkan di Istambul, 1294 H/1877 M.
AHMAD Faris Shidyaq seorang sastrawan dan jurnalis Arab yang terlahir dalam keluarga Maronite di awal abad ke-19 M. Setelah berpindah-pindah dari satu sekte ke lainnya dalam Agama Nasrani akhirnya ia memilih tenang di dalam Islam.
Pada Juli 1860, ia menerbitkan surat kabar mingguan berbahasa Arab, Al-Jawa’ib, di Istanbul. Al-Jawa’ib yang dicetak pertama sekali pada Percetakan Kesultanan (Al-Mathba’ah As-Sulthaniyyah) kemudian menjadi surat kabar paling populer dan berpengaruh di Dunia Islam pada waktu itu.
Menurut penulis Tarikh Ash-Shihafah Al-‘Arabiyyah (1913:61), Al-Jawa’ib menyebar luas ke bagian timur dan barat Dunia, dan menjadi surat kabar paling kesohor semenjak kemunculan persuratkabaran Arab sampai dengan dewasa itu. Surat kabar ini dibaca oleh para sultan, raja, amir dan ulama di Turki, Mesir, Maroko, Aljazair, Tunis, Zanjibar, Jawa (negeri-negeri Jawi), India dan lainnya. Sultan ‘Abdul ‘Aziz dari Dinasti ‘Utmaniyyah sengaja mendukung Al-Jawa’ib untuk menyebarluaskan pemikiran Khilafah An-Nabawiyyah di kalangan umat Islam yang berada di luar batas negara Utsmaniyyah.
Selain surat kabar, percetakan Al-Jawa’ib yang didirikan Shidyaq setelah sepuluh tahun Al-Jawaib terbit juga merupakan percetakan paling terkemuka di Istanbul.
Shidyaq meninggal dunia di Istanbul dalam musim panas 1887 dan jasadnya diistirahatkan di Libanon sebagaimana wasiatnya.
Tulisan-tulisan Shidyaq dalam Al-Jawa’ib dikumpulkan dalam buku berjudul Kanzul Ragha’ib fi Muntakhabatil Jawa’ib (perbendaharaan hal-hal yang disukai yang berisi tulisan-tulisan pilihan dari Al-Jawa’ib), dan terbit pada 1294 H (1877 M).
Gambar halaman Kanzul Ragha'ib fi Muntakhabtil Jawa'ib yang dilampirkan A. Hasymy dalam bukunya
Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (1983).
Dalam jilid ke-5 buku tersebut dimuat tulisan berkenaan ihwal Aceh sepanjang dua halaman dengan tajuk: “Seputar Kondisi Aceh atau Acin”. A. Hasymy—semoga Allah merahmatinya—telah melampirkan gambar kedua halaman Kanzul Ragha’ib di dalam bukunya yang penting: Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (1983: 102-3). Di bawah salah satu gambar, Hasymy mencatat: Dua fotokopi ini diambil dari sebuah kitab yang dicetak di Turki yang bernama Kanzul Ragha’ib kepunyaan Almarhum Tuanku Abdul Aziz.
Tampak pula pada gambar yang dilampirkan Hasymy, catatan-catatan dengan tulisan tangan di bagian pinggir kedua halaman Al-Jawa’ib. Beberapa di antaranya sudah sukar untuk dibaca. Catatan-catatan pinggir yang barangkali dibuat oleh Tuanku Abdul Aziz ini memuat penjelasan atau keterangan tambahan yang nantinya akan dimasukkan dalam terjemahan teks dengan pemerian: (Twk A.Aziz:…).
Isi pemberitaan Al-Jawa’ib ini juga dinukilkan Mohammad Said dari George Kepper (hal: 697-699), dan dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa dalam tahun 1872 menyangkut kegiatan diplomasi Mudabbirul Malik Kerajaan Aceh, Sayyid ‘Abdurrahman Az-Zahir, di Istanbul serta beberapa ibukota negara lainnya. Kegiatan diplomasi luar negeri itu dilakukan untuk meraih dukungan internasional terhadap sikap Aceh dalam menghadapi Belanda yang makin semena-mena.
Kepper, seperti ditulis Said, menambahkan bahwa Al-Jawa’ib telah meminta Turki dan negara-negara kuat lainnya untuk melindungi Aceh dari serangan-serangan Belanda, dan berharap Sultan mengeluarkan dekretnya kembali untuk meneguhkan hubungannya dengan Aceh (hal: 699).
Dari keterangan yang dipaparkan Said langsung saja dapat diketahui bahwa siaran Al-Jawa’ib yang bertaraf internasional tentang Aceh dapat dikatakan sebagai salah satu buah hasil usaha diplomasi delegasi Aceh yang menurut Said terdiri dari Mudabbirul Malik sendiri dan seorang tokoh terkemuka di Aceh bernama Haji Abbas Effendi (Afandi).
Sudah jelas pula Al-Jawa’ib memuat berbagai informasi yang diterima dari delegasi Aceh tersebut. Informasi itu dikelompokkan dalam dua poin: pertama, mengenai sejarah awal Aceh, sultan-sultannya dan perkembangan hubungannya dengan Negara Utsmaniyyah; dan kedua, tentang kondisi aktual di Aceh terkait konflik dengan Belanda.
Halaman depan surat kabar mingguan
Al-Jawa'ib terbitan Istanbul (1868).
Pengabaran Al-Jawa’ib mengenai perkembangan aktual di Aceh sesuai isi surat-surat yang termaktub pada 1287 H (1872 M), yang dikirimkan para pemimpin Aceh kepada Sultan ‘Utsmaniyyah di Istanbul. Begitu pula tentang permulaan dan perkembangan hubungan Aceh dengan Negara Utsmaniyyah.
Sementara informasi mengenai sejarah awal Aceh dan para sultannya dalam poin pertama pengabaran Al-Jawa’ib adalah sesuatu yang tidak termaktub dalam surat-surat tersebut. Sangat logis, apabila informasi-informasi mengenai sejarah awal Aceh dan sultan-sultannya diperoleh dari keterangan lisan delegasi Aceh.
Sesuatu yang dapat dilacak untuk saat ini bahwa berbagai informasi yang disampaikan delegasi Aceh kepada Al-Jawa’ib tentang sejarah awal Aceh dan sultan-sultannya telah bersumber dari pengetahuan sejarah Aceh di pertengahan abad ke-19 M.
Namun sebelum dilanjutkan ada baiknya saya mengutip pandangan R. Hoesein Djajadiningrat yang telah mengumpulkan dan mengkaji berbagai kronik dan hikayat [yang umumnya dianggap] sebagai sumber sejarah Aceh. Kutipan ini diharapkan menjadi dasar pertimbangan untuk sejauh mana informasi-informasi yang dimuat Al-Jawa’ib dalam hal ini dapat diterima.
Djajadiningrat dalam bukunya, Kesultanan Aceh, yang diterbitkan oleh Museum Negeri Aceh pada 1982/1983, mengatakan bahwa sejarah Aceh sebelum permulaan abad ke-16 sama sekali berada dalam kegelapan. Asal-usul kesultanan Aceh juga menjadi kabur akibat tradisi tutur yang dijadikan sumber penyelidikan para ahli saling berbeda satu sama lain (hal: 9).
Djajadiningrat telah menunjukkan bukti atas pernyataannya itu dan mengakhiri uraiannya dengan pemberitaan Al-Jawa’ib pula (lihat hal: 9-13). Tentang pemberitaan Al-Jawa’ib mengenai pengislaman Aceh oleh seorang yang bernama Johan Syah dalam permulaan abad ke-13 M, ia cenderung untuk mengatakan bahwa penulis Al-Jawa’ib telah mengutip bahan-bahannya dari seorang pembawa berita dari negeri Aceh, dan bagaimana pun juga, kata Djajadiningrat, kita tidak dapat memberi nilai yang tinggi untuk berita-berita dari Al-Jawa’ib ini (hal: 13-14).
Pandangan yang diutarakan R. Djajadiningrat tentu akan sangat berbeda dengan pandangan A. Hasymy yang dalam hal ini sepenuhnya bertumpu pada keterangan-keterangan yang dimuat M. Yunus Jamil dalam Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh. M. Yunus Jamil dan Hasymy tampaknya sangat meyakini bahwa sultan pertama Aceh adalah Johan Syah yang telah memulai pemerintahannya pada hari Jum’at dalam bulan Ramadhan tahun 601 H (1205 M)—Al-Jawa’ib menyebutkan tahun 611 H.
M. Yunus Jamil, dan mungkin juga bersama-sama dengan Hasymy, sepertinya telah menggunakan sumber yang sering disebut Hasymy sebagai karya tulis Teungku di Mulek semisal Tadhkirah Thabaqatain (?) dan Qanun Meukuta Alam. Hasymy telah melampirkan gambar lembaran dari apa yang disebutnya dengan karya Teungku di Mulek ini dalam bukunya Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, tapi ia tidak menerangkan siapa sosok Teungku di Mulek.
Baru beberapa waktu lalu, kolektor manuskrip dan calon ilmuwan muda belia, Masykur Syafruddin (Luengputu Manuskrip Melayu Aceh), mengirimkan kepada saya gambar beberapa lembaran manuskrip yang direkamnya dari seseorang di Banda Aceh. Di antara lembaran-lembaran yang direkamnya itu terdapat satu lembaran sarakata atau tepatnya sebuah surat wasiat yang dari situ saya mengetahui nama sosok yang disebut dengan Teungku di Mulek. Pada bagian pinggir surat disebutkan: “… al-faqir al-gharib (yang faqir lagi asing) Teungku di Mulek Sayyid ‘Abdullah bin Ahmad Al-Jamalullail.” Dari penanggalan pada surat tersebut, saya lebih meyakini Sayyid ‘Abdullah atau Teungku di Mulek ini masih hidup sampai tahun 1288 H (1871 M).
Atas dasar itu, maka baik informasi yang dimuat Al-Jawa’ib mengenai Sultan Johan Syah dan awal pemerintahannya di tahun 611 H, maupun informasi yang diberikan oleh M. Yunus Jamil dan A. Hasymy dengan penanggalan 601 H, semuanya dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang berasal dari paroh kedua abad ke-19 M, dan sepertinya tidak akan lebih awal dari abad itu.
Apabila sumber-sumber sejarah yang dijumpai dalam abad ke-19 M adalah sebagaimana pernyataan Djajadiningrat tadi, maka bijak kiranya untuk menangguhkan pembenaran informasi yang dimuat Al-Jawa’ib menyangkut hal ini sampai dengan ditemukan dokumen lain yang autentik dan lebih dapat dipercaya.
Satu hal lagi yang juga perlu disinggung sedikit di sini adalah mengenai “Kitab Tadzkiratut Thabaqatain” dan “Qanun Meukuta Alam” yang sering disebut oleh Hasymy dan dijadikan sumber. Setelah memeriksa secara sepintas lalu gambar-gambar yang dikirim Masykur Syafruddin, saya justru berpikir, sudah semestinya kedua sumber yang digunakan Hasymy ini diperiksa dan dicermati ulang karena kendati memiliki informasi-informasi yang penting dan bagus tapi di dalamnya juga memuat hal-hal yang tidak masuk akal, yang berpeluang mengeluarkan lembaran-lembaran manuskrip itu dari abad ke-19 M dan memasukkannya ke dalam abad ke-20 M.
Terbaik yang dapat saya katakan untuk saat ini ialah: jika Kitab Tadhkiratut Thabaqatain itu memang benar-benar ada dan telah ditulis oleh Tengku di Mulek, Sayyid ‘Abdullah, di abad ke-19 M, maka boleh jadi kitab itu telah hilang atau belum dijumpai aslinya sedangkan yang ditemukan pada waktu kemudian hanya berupa sebuah salinan yang menukilkan beberapa bagian dari kitab tersebut. Salinan itu sendiri sangat buruk dan tampaknya ada hal-hal baru yang ditambahkan.
Lain dari itu, surat kabar Al-Jawa’ib juga memuat informasi yang amat meragukan bahkan mutlak berasal dari interpretasi dan pemahaman keliru si penulisnya sendiri. Antara lain disebutkan bahwa Aceh di masa sebelum Islam dikuasai oleh orang-orang Majusi. Mengenai hal ini sama sekali tidak pernah ditemukan sebuah sumber pun yang menyebutkan demikian. Begitu pula mengenai Firman Syah yang disebutkan sebagai Sayyid Al-Mukammil. Jika Sayyid Al-Mukammil yang dimaksud adalah ‘Alauddin Ri’ayat Syah, yakni orang yang didapati namanya pada sebuah cap (mohor) Aceh dan orang yang kuburnya saya yakin berada di Kompleks makam Ulee Kareung, Indrapuri, maka Sayyid Al-Mukammil yang dimaksud adalah putra dari Malik Firman Syah, bukan Firman Syah.
Namun bagaimanapun, pengabaran Al-Jawa’ib dari Istanbul telah menjadi dokumen penting bagi peristiwa-peristiwa di Aceh menjelang perang melawan Belanda. Begitu menentukannya peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa-masa genting itu bagi Aceh dan Dunia Islam, sampai Istanbul pun mengabarkan dengan harapan agar persoalan Aceh dapat menarik perhatian Dunia Islam dan tergerak untuk turun tangan menyelamatkan keadaan.
Tapi apa hendak dikata, semuanya telah termaktub dalam lembaran takdir Allah ‘Azza wa Jalla, dan Aceh harus berdiri sendiri sampai dengan musim berganti dan haluan sejarahnya pun berubah arah. Tentu semua itu bukan tanpa hikmah di baliknya. Sebuah hikmah besar justru diharapkan akan menjelma setelah satu abad berlalu dalam kemunduran dan Aceh kehilangan bau harumnya. Aceh, hakikatnya, telah diberi kesempatan belajar dari pengalaman yang begitu kaya akan pelajaran dan pesan, dan itu tentu demi ia dapat tegak menjulang lebih tinggi lagi di masa depan.
Berikut ini adalah teks terjemahan pemberitaan surat kabar Al-Jawa’ib tentang Aceh: (Twk. A.Aziz: pemilik kitab ini……….bin ‘Abdul Qadir…………………..inilah Al-Jawa’ib………)